Potensi, Posisi, dan Peran Mahasiswa di Lingkungan Sekitarnya

Potensi, Posisi, dan Peran Mahasiswa di Lingkungan Sekitarnya

            Sampah rumah tangga yang tergolong sebagai sampah organik meliputi sisa makanan, kotoran hewan peliharaan, maupun daun-daun tanaman di pekarangan [1]. Di salah satu gang kecil Jalan Jokotole Kabupaten Pamekasan, sampah rumah tangga merupakan pandangan yang sudah biasa dilihat di pinggir-pinggir jalan setapaknya. Keadaan ini tentu menghawatirkan. Selain menimbulkan bau, sampah organik juga dapat menyebabkan bronkitis, masalah pencernaan, iritasi mata dan kulit, serta alergi [2]. Jalan Jokotole nomor 9 dihuni oleh 16 keluarga dan masyarakatnya biasa membuang sampah rumah tangga mereka di pinggir jalan setapak gang tersebut. Masyarakat di gang tersebut menjadikan satu titik di pinggir jalan setapak sebagai pembuangan sampah terakhir mereka dan hal tersebut telah berlangsung lama hingga tanah di situ berubah menjadi hitam seperti humus dan banyak ditumbuhi tanaman pisang serta pepaya. Akan tetapi, kesuburan tanah akibat sampah yang dibuang penduduk di gang tersebut tidak menggugurkan fakta bahwa titik pembuangan akhir merka menimbulkan bau dan pemandangan tidak sedap. Satu keluarga yang tinggal dekat dengan titik pembuangan tersebut juga kerap kali menderita dermatitis. Setelah melihat dan menyadari permasalahan ini, mahasiswa pengamat tergerak untuk memberikan solusi sebagai penerapan potensi, posisi, dan perannya dalam masyarakat. 

            Fakta menarik dari penduduk jalan jokotole gang 9 di kabupaten pamekasan adalah tidak ada satupun dari mereka yang tidak memelihara tanaman. Dari tanaman hias, sampai pohon singkong, setiap rumah pasti memiliki tanaman yang mereka pelihara. Hal ini membuat pengamat mendapat ide untuk mengalihfungsikan sampah rumah tangga mereka menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat yaitu kompos. Dari 16 keluarga, hanya 2 keluarga yang menggunakan sampah organik sebagai kompos, sisanya membeli kompos dari toko. Oleh karena itu, pengalihfungsian sampah menjadi kompos menjadi solusi potensial untuk dikembangkan. Mahasiswa sebagai pengamat juga memiliki potensi mengatasi permasalahan ini karena telah belajar teknik pengomposan takakura di kampus. Takakura adalah teknik pengomposan yang praktis, tidak berbau, dan cocok digunakan untuk skala rumahan. Takakura dibuat dengan wadah keranjang berlubang yang diisi dengan bantal sekam atau sabut [3]. Berdasarkan modul pembuatan takakura oleh Bapelkes Cikarang (2013), takakura sangat cocok untuk keluarga dengan anggota 4-7 orang. Hal ini membuat takakura menjadi solusi yang relevan bagi penduduk Jalan Jokotole nomor 9 karena di sana tidak ada keluarga yang anggotanya melebihi 7 orang. 

            Metode takakura ini juga sudah banyak diterapkan di banyak kelurahan sehingga keefektifannya dalam membuat kompos tidak perlu diragukan lagi. Walaupun begitu, karakteristik masyarakat di setiap tempat berbeda-beda. Dengan memahami posisi nahasiswa sebagai masyarakat yang setara, bukan individu yang serba tahu dan selalu benar, mahasiswa harus memahami bahwa yang efektif di suatu kelurahan belum tentu efektif di keluarahan lainnya. Penduduk jalan jokotole gang 9 adalah penduduk yang sibuk sehingga waktu mereka hanya cukup untuk merawat tanaman, bukan sampai membuat kompos. Oleh karena itu, akan dibuat wadah takakura yang cukup besar, seukuran setengah tinggi rata-rata pohon pisang. Wadah sebesar ini kiranya cukup untuk menampung sampah rumah tangga 16 keluarga selama setengah tahun. Di sinilah peran mahasiswa sebagai inisiator gerakan pembuatan kompos ini. Mahasiswa harus meminta izin pada penduduk untuk membuat wadah tersebut dan memberikan penyuluhan bahwa sampah rumah tangga mereka tidak boleh lagi dibuang ke titik pembuangan yang biasa mereka lakukan, melainkan dibuang ke wadah takakura. Wadah takakura akan diletakkan di ladang kosong yang posisinya berada di tengah pemukiman sehingga tidak terlalu jauh untuk diakses oleh setiap keluarga 


Sumber: Bapelkes Cikarang

            Dengan adanya wadah takakura bersama ini, permasalahan lingkungan bisa teratasi sekaligus membantu penduduk untuk menjalankan hobinya merawat tanaman. Mahasiswa bukanlah orang yang paling bisa hanya karena sudah belajar teknik pengomposan, mahasiswa harus peka pada kebutuhan dan karakteristik khusus masyarakat yang hidup di lingkungan yang ingin dibantu. Dengan mendengarkan dan memahami pendapat penduduk, mahasiswa bisa menjalankan potensi, posisi, dan perannya secara maksimal. Pengolahan sampah dengan takakura ini memang masih terbatas pada sampah organik yang dihasilkan oleh rumah tangga. Perlahan, di kemudian hari, di harapkan penduduk gang 9 bisa berangsur-angsur sadar akan pentingnya merawat lingkungan sehingga akan dibuat gerakan pengolahan sampah yang anorganik.


Referensi

[1] Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga

[2] Poulsen, O.M., Breum, N.O., Ebbehøj, N., Hansen, Å.M., Ivens, U.I., van Lelieveld, D., Malmros, P., Matthiasen, L., Nielsen, B.H., Nielsen, E.M. and Schibye, B., 1995. Collection of domestic waste. Review of occupational health problems and their possible causes. Science of the Total Environment170(1-2), pp.1-19.

[3] Bapelkes Cikarang. 2013. Modul Pembuatan Kompos Metode Takakura. Kurikulum dan Modul Pelatihan Teknologi Tepat Guna Kesehatan Lingkungan. pp. 1-18. URL: http://bapelkescikarang.bppsdmk.kemkes.go.id/single.php?idkurmod=KMD1. Diakses tanggal 30 Juni 2002


#PoPoPeMahasiswa

#KATITB2021


Komentar

  1. Mudah-mudahan penulis dengan potensi yang dimilikinya sebagai mahasiswa memiliki semangat untuk dapat menjadi katalisator dalam menerapkan metode takakura tersebut di daerah tempat tinggalnya di kemudian hari. aamiin

    BalasHapus

Posting Komentar